Bambang berangkat ke Brunei pada tahun 2000. Saat itu, usai menamatkan kuliah di Fakultas Pertanian, Universitas Tanjungpura, Pontianak seseorang menawarinya untuk bekerja di Brunei Darussalam. Tugasnya membina para petani di negara itu.
Sebagai lulusan sarjana pertanian, tak ada alasan bagi Bambang untuk menolak tawaran itu. Apalagi, dia ditawari gaji yang sangat tinggi. Sudah terbayang di benak Bambang akan suasana yang nyaman di negeri orang. Apalagi dia bisa mempraktekkan ilmu yang telah ditimbanya selama beberapa tahun di kampus.
Tetapi sesampai di Brunei, bukannya mendapat gaji yang tinggi, Bambang justru terlantar. Semua yang dibayangkannya buyar. “Saya kena tipu. Diiming-imingi gaji besar, rupanya sampai di sini ditaruh di hutan, tidak diberi makan. Saya disuruh garap ladang, tapi masih hutan,” kata Bambang mengingat saat awal merantau ke Brunei.
Saat itu ada dua orang yang berangkat bersamanya dari Pontianak. Sama seperti Bambang dua temannya itu juga ditawari untuk membimbing para petani di Brunei. Tapi karena tak tahan, dua rekannya itu memutuskan pulang ke Pontianak. Sementara Bambang nekad bertahan di Brunei. “Sudah kepalang tanggung. Malu kalau pulang ke Pontianak,” kata Bambang.
Selama dua tahun, Bambang tinggal di sebuah gubuk di ladang garapannya. Sehari hanya makan sekali. Itupun makan nasi yang keras dan mi instan yang sudah kedaluwarsa. Meski begitu Bambang tetap bertahan. Beruntung Bambang ditolong seorang warga Sabah, Malaysiayang meminjaminya uang untuk bertahan hidup.
Setelah dua tahun lahan garapannya mulai menunjukkan hasil. Bambang sudah mulai memanen hasil tanamannya. Hasil panennya itu dijual ke sejumlah pasar di Bandar Seri Begawan. Tapi perjuangannya tidak sampai di situ. Bukannya memberi gaji, bos pemilik lahan itu justru meminta jatah dari penjualan sayur mayur.
Next >>