Kisah Nenek Saparia yang Hidup Sebatang Kara, Tanah Dijual Anak, Minum Susu Sachet untuk Menahan Lapar

by -100 Views
KOMPAS.com – Nenek Saparia (83) tinggal seorang diri di rumah reyot yang didirikan di tanah milik menantunya di Desa Polewali, Kecamatan Gantarang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.Di rumah tersebut, Saparia memasak dengan tungku yang disimpan di teras rumah. Rumah itu hanya memiliki satu ruangan tanpa pintu yang berisi kursi plastik dan ranjang kayu.

Saparia tinggal di rumah panggung yang berdinding dan beratapkan seng itu sejak tiga tahun lalu.

Kala itu sang suami tercinta meninggal dunia. Sementara anak sulungnya yang bernama Sikking tega menjual tanah yang ditempati Saparia.

Baca juga: Wajah Nenek 75 Tahun Semringah Saat Gubuk Reyot Miliknya Didatangi TNI

Tanah tersebut dijual Sikking seharga Rp 20 juta tanpa sepengetahuan sang ibu.

Dibantu oleh warga, ibu tiga anak tersebut membongkar rumah yang ia miliki dan memindahkannya ke lahan milik menantu Saparia.

“Saat suami meninggal dunia, anak menjual tanah itupun tidak memberitahukan kepada saya. Saat itu saya menangis ketika mendengar dari orang bahwa tanah di tempati tinggal dijual Sikking Rp 20 juta,” kata Saparia dengan bola mata memerah, saat ditemui Kompas.com, di rumahnya Senin (19/10/2020).

Baca juga: Kisah Meli Sang Juara LIDA 2020 Asal Cianjur, Hidup Sederhana di Rumah Reyot

Sejak menjual tanah sang ibu, menurut Saparia anak sulungnya itu tidak pernah membesuknya.

“Sikking tidak ada tobat-tobatnya. Setelah menjual tanah tidak pernah ke sini membesuk. Untung saja suami Hamina membiarkan saya numpang di lahannya membangun rumah yang saya tempati saat ini,” tutur Saparia.

Beli susu sachet untuk menahan lapar

Untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari, Saparia bekerja sebagai pemulung. Ia akan berjalan kaki meninggalkan rumah sekitar pukul 05.00 Wita dan pulang siang hari.

Selain mencari botol bekas, ia juga mencari kayu bakar untuk memasak.

Botol-botol bekas tersebut dikumpulkan selama dua bulan. Jika sudah mencapai tujuh karung, ia akan menjulanya ke pengepul.

“Jika dijual dengan harga Rp 100.000 per botol. Itupun dijual kalau sampai tujuh karung biasanya dapat Rp 50.000” ungkapnya.

Ia mengaku saat ini kaki kanannya sering sakit sehingga tak lagi bisa berkeliling jauh untuk mengumpulkan botol bekas.

Baca juga: Cerita Maria, Jadi Pemulung untuk Menafkahi Suami yang Strok, Tinggal di Gubuk Reyot Tanpa Listrik

Saparia bercerita jika ia bisanya mendapatkan bantuan beras dari salah satu anggota DPRD Bulukumba.

Namun sejak tiga hari terakhir, dia mengaku kehabisan beras.

Untuk menahan lapar, ia terpaksa membeli susu sachet. Namun rasa kenyang dari susu tak membuatnya bertahan. Saat malam ia kerap merasa kelaparan.

Walaupun tak memiliki beras, Saparia mengaku malu meminta kepada tetangga.

“Mau gimana lagi kasihan kita ini orang tidak bisa apa-apa kalau sakit begini tidak pergi cari botol. Padahal hanya botol sumber penghasilan. Apalagi saya malu minta beras pada tetangga,” kata Saparia.

Baca juga: Kisah Mbah Tarso, Hidup di Gubuk Reyot Tepi Sungai, Andalkan Hidup dari Mencari Ikan

Saat dikonfirmasi terpisah, Kepala Desa Polewali Ambo Cinning membenarkan jika Sikking anak pertama Saparia telah menjual tanah milik ibunynya.

“Memang anaknya itu seperti maling kundang, masa tega dengan orangtua sendiri,” kata Ambo.

Ia menjealskan selama Saparia juga mendapatkan bantuan termasuk BLT dana desa untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

“Memang diutamakan bantuannya kepada Saparia karena memang layak menerima,” ungkapnya.

SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Nurwahidah | Editor: Khairina)

Editor: Rachmawati

Artikel Asli