Di saat ramainya hutan-hutan di Indonesia sengaja dibakar untuk kepentingan tertentu, muncul kisah inspiratif dari seorang kakek bernama Suhendri asal Tenggarong. Kakek Suhendri diketahui memiliki lahan seluas 1,5 hektar yang kini rimbun ditumbuhi pepohonan. Lahan tersebut kini telah menjadi hutan kota.
Berdasarkan pengakuan kakek Suhendri, banyak investor yang menawarkan sejumlah uang fantastis untuk membeli lahan miliknya.
Namun kakek Suhendri bersikukuh untuk mempertahankan lahan yang kini telah menjadi hutan tersebut. Alasan mulia dibalik kakek Suhendri yang enggan menjual tanahnya yaitu karena ingin hutan miliknya itu memberi oksiden bagi masyarakat.
1.Tak berniat jual tanah miliknya
Dilansir dari Kompas.com, Suhendri, kakek berusia 78 tahun asal Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, berharap hutan buatannya di tengah Kota Tenggarong akan terus dijaga dan dirawat.
Sejak tahun 1986, Suhendri sudah mulai menanam pohon di lahannya seluas 1,5 hektar. Dibalik keinginan Suhendri menanam pohon di tanahnya itu, ada alasan mulia yaitu untuk menyediakan oksigen bagi masyarakat.
“Saya menyiapkan oksigen bagi masyarakat di kota ini,” kata Suhendri.
Ia tak pernah berpikir sedikit pun untuk menjual tanahnya kepada orang lain atau investor. Di usianya yang tak lagi muda, ia sangat berharap kepada keluarga maupun orang lain untuk terus menjaga hutan yang telah ia rawat sejak lama.
“Saya tidak jual. Saya harap ada orang yang bisa melanjutkan merawat hutan ini meskipun bukan keluarga saya,” imbuhnya.
2.Pernah ditawar Rp 10 miliar
Suhendri mengaku selama ini ia kerap didatangi para pemborong tanah hingga investor untuk membeli lahan miliknya. Suhendri bahkan pernah ditawari Rp 10 miliar jika bersedia menjual tanahnya. Dengan tegas, Suhendri menolak tawaran fantastis tersebut.
“Banyak yang datang mau beli, tapi saya tidak mau. Apalagi mau bikin perumahan, saya tidak mau, lingkungan rusak,” kata Suhendri.
Berkat kegigihannya menjaga hutan kota di saat marak penebangan hutan akhir-akhir ini, Suhendri kerap mendapat penghargaan dari berbagai pihak atas komitmennya. Tak hanya itu, Suhendri pernah didatangi mahasiswa asal Jepang untuk melakukan penelitian di hutan miliknya sebagai tugas akhir.
Sementara, Ayah dua anak itu hanya tinggal di sebuah rumah sederhana pinggir hutan bersama sang istri. Di hutan tersebut, ia juga menggarap lahan yang menjadi mata pencahariannya.
3.Niat untuk menjaga hutan
Suhendri pertama kali menginjakan kakinya di Tenggarong pada tahun 1971. Ia bekerja di sebuah proyek pembangunan asrama milik perusahaan kayu. Pada saat itu bisnis kayu sedang berkembang hingga banyak hutan ditebang untuk memenuhi kebutuhan pasar.
“Dari situ muncul motivasi. Saya akan merawat hutan. Saya kemudian beralih jadi petani, tapi garap lahan orang lain,” pungkas Suhendri.
Pada tahun 1979, Suhendri berhasil mengumpulkan uang untuk membeli lahan seluas 1,5 hektar dengan harga Rp 100 ribu. Di lahan itu, awalnya ia mulai bercocok tanam dengan konsep pertanian agroforestri yaitu menggabungkan pepohonan dan pertanian.
Pada tahun 1986, ia mendapat 1.000 bibit dari Bogor berupa bibit meranti, damar, kapur, pinus, kayu putih, ulin dan sengon. Kini, tanaman yang telah ia rawat sejak tahun itu sudah menjadi hutan yang rimbun. Hutan tersebut menjadi hutan kota yang berguna bagi kelangsungan hidup manusia.