JAKARTA, KOMPAS.com – Jalan raya merupakan tempat umum yang dipenuhi oleh berbagai macam karakter manusia. Kadang ketika sudah mengemudi dengan aman, ada saja cobaan seperti bersenggolan atau menghadapi penerobos lampu merah.
Ketika terlibat kecelakaan seperti itu, kadang timbul pikiran sebagai yang mengemudi dengan aman, merasa paling benar dan artinya orang lain yang salah. Padahal sebenarnya kecelakaan tersebut bisa diantisipasi.
Training Director Safety Defensive Consultant Indonesia Sony Susmana mengatakan, safety driving adalah ilmu bagaimana menghindari risiko kecelakaan, bukan cari siapa yang benar atau salah.
“Apa gunanya mengedepankan kebenaran tapi mendapatkan musibah yang kita sudah tahu itu akan terjadi? Kecelakaan memang risiko dari mengemudi, namun paling tidak bisa diminimalisir dengan defensive driving,” ucap Sony kepada Kompas.com, Rabu (27/1/2021).
Sony mengatakan, ada dua hal yang bisa dipelajari setiap terlibat kecelakaan yaitu introspeksi diri dan belajar. Introspeksi diri seperti menanyakan apa yang salah dari diri sendiri sehingga bisa terlibat kecelakaan.
“Kebiasaan warga Indonesia adalah lima menit pertama saat kecelakaan, mereka mencari kesalahan orang lain dan melakukan pembenaran dirinya,” kata Sony.
Kedua yaitu terus belajar, dengan begitu bisa menambah referensi diri dalam mengantisipasi kecelakaan. Karena tanpa belajar dari kecelakaan tersebut, tidak akan pernah paham.
“Kalau di negara tetangga, yang pertama dilakukan saat terlibat kecelakaan adalah saling minta maaf terlepas siapa yang benar atau salah. Setelah itu baru nego ganti rugi dan di sana enggak repot, setiap kendaraan wajib di cover asuransi,” ucapnya.
Berbeda dengan di Indonesia, siapa yang duluan galak, seolah-olah sudah paling benar dan enggak boleh tertabrak. Bahkan ada juga yang mencari keuntungan dengan bilang kalau mobilnya tidak diasuransikan sehingga mendapat uang ganti rugi.